5.10.24

I'm not Lost!

Produktif lagi? Iya haha
Dini hari lagi? Iya haha, kenapa? karena otak aing bakal kreatif dan bisa mikir kalo jam-jam segini 😭

Kali ini mau ngereview buku Aku Yang sudah Lama Hilang, tulisannya Nago Tejena. Ya walaupun ada kaitannya dengan diri sendiri, tapi buku ini sekalian buat belajar memahami siswa/i yang masih proses menuju dewasa.

Awal cerita adalah saat ngajar di kelas X, berawal dari seorang siswa, yang pintar dan punya kelebihan karena selalu menjawab pertanyaan diluar ekspektasi. Namun ceroboh saat ujian, dia pun menyadari hal itu dan bertanya bagaimana cara mengatasinya. Jawaban terbaik saat itu yang bisa diberikan adalah coba lebih sabar lagi dalam ujian dan jangan buru-buru. Di kelas XI, ketemu lagi dengan Nobita dengan kasus yang berbeda lagi. Insecurity!. Gagal dalam proses seleksi untuk ikut Olimpiade, membuat dia kecewa dan takut untuk tidak terpilih lagi karena merasa ada yang lebih baik dibanding dia. Pertanyaan yang mucul adalah apakah setiap orang yang pintar ketika ambisinya gak tercapai selalu merasa insecure dengan diri sendiri karena gagal? Menarik nih buat di pelajari ya walaupun diri sendiri juga merasakan hal yang demikian. 

Buku Aku Yang Sudah Lama Hilang ini mengajak dan menyadarkan kita how important your self than others dengan bahasa yang lebih sederhana tanpa menghakimi, mengajak kita keluar dari permasalahan yang membelenggu baik dalam dengan diri sendiri serta hubungan dengan keluarga, teman, bahkan pasangan. 

Di awal bab membawa kita flashback dengan diri kita sendiri dan tapa kita sadari ternyata setelah dewasa ini mudah terpengaruh oleh berbagai kondisi dan perasaan yang sedang kita alami. Padahal, ketika masih kecil dan menjadi anak-anak dulu kita pernah bahagia dan semua terasa indah, sebelum segalanya pelan-pelan berubah. Ketika dewasa, kita terjebak di dalamnya dan menyadari ternyata hidup tak semudah itu, ternyata kita tak sehebat yang kita kira dan mulai mengibarkan bendera putih dan menyerah kepada hidup alias mati rasa. Di awal bab, Penulis buku ini juga mengajak, yuk temuin jati diri dengan semangat untu menata kembali kehidupan.

Buku ini juga ngasih tahu, sehat secara mental bukan melulu tentang merasakan perasaan positif, merasakan perasaan negatif juga termasuk sehat secara mental kok. Jadi sah-sah aja kalo kita ngeluapin perasan negatif, wong kita juga manusia kok, justru aneh kalo kita gak punya rasa sedih, kecewa dan lain-lain. Ada hal menarik lainnya dari buku ini, Dendam! Dendam akan dilabeli sesuatu yang jahat, dendam muncul ketika kita tidak diperlakukan secara adil oleh orang lain, may be orang akan beranggapan negatif, karena pasti dihubungin ke agama, Allah Maha Pemaaf kok, kamu kok gak bisa?, namun di buku ini gak ngejudge kita buat terus mendendam kok, cuman mengajak untuk memvalidasi dulu perasaan tersebut, biarin aja perasaan itu beberapa saat. Apabila udah siap untuk melepasnya, lakukan dengan ikhlas. POV dari masalah "dendam" ini adalah,  gapapa kok kamu kecewa, sedih, marah saat diperlakukan begitu, tapi jangan lama-lama yaa, kamu berhak bahagia. Karena perasaanmu adalah bagian dari dirimu, maka terimalah sepenuh hati. Biarin aja perasaan-perasaan itu datang, ketika suatu hari perasaan-perasan itu pergi ya biarin aja.

Being human is not about maximizing positive feelings, nor about minimizing negative feelings. Being a human is about living to the fullest, experiencing all kind of feelings, positive or negative.

Tahun ini bisa dibilang adalah tahun gak produktif, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang ambis dan produktif sekaleee, bukan berkaitan dengan PR yang belum selesai, bukan. Tapi satu dan lain hal yang ngebuat demikian, Buku ini menggambarkan kita seperti berada di ruang gelap lalu tiba-tiba ada satu lampu yang hidup dengan terang benderang. Disaat merasakan tidak produktif, malas-malasan, yakin dan percayalah itu adalah hal yang gak baik, karena tanpa kita sadari kita sedang menyia-nyiakan potensi diri kita. huaaaaa ngena beud coy 😭Yuk fokus lagi sama tujuan yuk, stop nanya tujuan apa yang harus aku kejar, but mulai nanya, tujuan apa yang mau dikejar. Gak salah dia punya misi ada pencapaian dalam hidup tiap tahunnya. Super sekali 🙌.

Dan stop bertanya, dewasa ini mulailah menjawab. Satu hal yang tidak kita sadari adalah terlalu sering bertanya ke orang lain akan membuat kita menjadi tergantung. Sehingga kita tidak memiliki kesempatan untuk mengasah kemampuan kita dalam menilai, memilih, serta menerima kosekuensi dari jawaban-jawaban kita, usaha dulu coy nemuin jawaban dari pemasalahannya. Kepentok ntar gapapa deh nanya lagi. Trus, take your time with your self, karena di bandingin sama keluarga, pasangan, teman, kita lebih banyak menghabiskan waktu dengan diri sendiri bukan? so, buatlah nyaman dengan diri sendiri sebelum dengan orang lain yaa. 

Buku ini juga ngasih tau, berkompetisi boleh, tapi gak boleh kecewa dengan hasilnya. Kenapa? Kita terbiasa dengan sistem hierarki, yang berkuasa itulah yang menang, don't be sad, yuk keluar dari hirarki tersebut, yuk temuin our path to make us happy. Dipikir-pikir lucu juga ya, ketika lingkungan menuntut, di umur ini saya udah ini, saya udah itu, selalu compare kehidupan mereka dengan kita, bahkan mereka juga compare kehidupan orang lain dengan kita, si anu udah ini loh, sudah itu, kamu kok belum?, senyumin aja gaes, karena kita gak perlu menjadi apa yang mereka inginkan. Karena kesuksesan kita bukan menjadi puncak dari suatu hirarki, tapi ketika berada diluar hirarki tersebut. Semangat💪

Don't strive to be the best, but strive to be different. This is not journey to be number one, this is the journey to be the only one.

Kesimpulannya adalah bagi diri sendiri, yaudahlah being your self aja, fokus sama tujuan! dan bagi guru-guru nih, kalo menghadapi siswa/i kayak Nobita, yuk biarkan mereka memvalidasi perasaan mereka terlebih dahulu, jangan langsung ngejudge, ah masa itu aja gak bisa. Mereka juga punya perasaan dan masih dalam proses pencarian jati diri, tugas kita adalah mengingatkan dan mengarahkan bagaimana dia meraih dan mencapai tujuannya. Proses dari remaja menuju dewasa gak semudah yang dibayangkan loh. Kita guru harus punya empati dengan hal-hal demikian. Sama halnya dengan diri kita sendiri, mereka mungkin punya permasalahan yang belum selesai, sehingga masih kesulitan menemukan, who I am nya.

xoxo,

Annisa